IKUTI PASSION DIRI

DEO GRATIAS: IKUTI PASSION DIRI (3)

Semilir senja yang semakin dingin tidak mengurangi antusiasme peserta yang datang dari berbagai tempat. Bagi yang dari daerah panas, dinginnya angin Ambarawa membuatnya harus membalut diri dengan jaket, topi dan bahkan slayer meliliti leher. Sementara perhatian dicurahkan dengan segenap daya untuk mencerna segala ujaran bernas dari para pembicara: Bapak Eka Budianta, Professor Tengsoe Tjahjono, Bapak Joko Pinurbo yang dipandu oleh moderator Romo G. Subanar, SJ.
Bapak Eka mencoba menerangkan tema besar: Reposisi Pengarang Katolik. Bapak Eka mencoba memetakan betapa kita merupakan bagian dari para penulis katolik semesta lainnya. Bagaimana para penulis katolik melihat dan membawa dirinya dalam pusaran zaman? Menurut Bapak Eka, bahwa tiga reposisi – pemahaman peran, pembelajaran dan peningkatan produktivitas – dapat dilakukan dengan beberapa hal praktis. Ia mengusulkan pertama, pemanfaatan media sosial. Kedua, mengenali aktivis di sekitar. Dan ketiga, memperbanyak kesempatan berdiskusi. Usulan ketiga inilah yang cocok dengan acara-acara semacam KOPDAR. Dalam kopdar, kita bisa mendiskusikan banyak hal. Dan terumata kita bisa mendengarkan banyak hal dari teman-teman lain. Kita saling memperkaya. Itulah makna komunitas (penulis katolik)
Bapak Tengsoe Tjahjono menyoroti Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias: Apa dan Bagaimana. Dia mengawali dengan membaca Puisi Adven di Seoul. Puisi ini, menurut saya menjadi gambara kerinduan sekaligus penantian (adventus: menantikan dalam arti aktif) akan sesuatu (orang kristiani menantikan kelahiran Kristus). Acara-acara kopdar maupun acara-acara dalam komunitas penulis menjadi sebuah ADVEN, sebuah penantian untuk meleburkan aneka pengalaman dalam kebersamaan. Adven penulis itu semakin indah ketika penulis katolik menghayati perutusan ini: Pergilah, kita diutus menjadi garam, terang dan ragi dalam segala keberadaan kita, sebagai penulis, sebagai warga gereja dan masyarakat.
Bapak Joko Pinurbo, penyair dan sastrawan kawakan abad ini, menyoroti peran penulis katolik untuk Mewartakan Kasih melalui Karya Sastra. Menulis sebuah puisi itu gampang, tinggal kita bermain kata-kata. Tetapi yang sulit itu adalah bagaimana setiap puisi itu benar-benar menunjukkan kekatolikan kita, tanpa kita nyatakan secara gamblang kita katolik. Cukup orang membaca tulisan kita, orang langsung tahu kita katolik. Itulah yang susah. Butuh keberanian yang berdarah-darah (WANI NGGETIH. Tentang ini akan saya uraikan dalam tulisan lanjutan).
Benang merah yang coba saya rangkum dari ketiganya, juga penegasan dari Romo Banar, SJ selaku moderator: kita perlu melebur dalam passion diri. Passion diri inilah yang memampukan kita untuk berani terjun secara mendalam dan total dalam setiap tulisan kita. Passion diri memandu kita untuk berani memulai, meneruskan, menyelesaikan dan membagikannya...(bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERI PENTIGRAF BUNG KARNO

Buku Pribadi

Motivasi Diri